Kalangan pengusaha dan ekonom satu suara meminta pemerintah untuk tidak membuat pungutan baru berupa cukai minuman berpemanis dalam kemasan atau MBDK untuk menangani permasalahan penyakit gula yang merebak di masyarakat.
Ekonom yang juga merupakan Guru Besar Ilmu Ekonomi Moneter Universitas Indonesia Telisa Aulia Falianty mengatakan, pengenaan pungutan tambahan berupa cukai MBDK di tengah rencana kenaikan tarif PPN 12% pada 2025 hanya akan menekan daya beli masyarakat, dan menambah beban biaya industri.
“Jadi kan kalau PPN itu atau cukai itu kan ujungnya menaikkan harga. Kalau harga naik itu juga permintaan bisa mengalami penurunan,” kata Telisa dalam program Closing Bell CNBC Indonesia dikutip Kamis (29/8/2024).
Selain itu, ia mengatakan pengenaan cukai dan tarif PPN itu juga bisa mendorong inflasi lebih besar pada tahun depan, dari target pemerintah hanya akan ada di kisaran 2,5%, bisa merangkak naik menjadi 3%. Ujungnya ialah tertekannya konsumsi masyarakat, yang memiliki dampak lanjutan terhadap permintaan barang dan jasa hasil produksi industri.
“Saya sudah melakukan sedikit simulasi kalau PPN saja naik 1%, inflasi bisa bertambah sekitar 0,5 percentage poin dari baseline. Jadi kalau misalkan tadinya inflasinya 2,5% dengan tambahan 0,5% poin, bisa naik ke 3%. Tapi itu bergandanya long run nya setelah full efect jangka pendek ke jangka panjangnya,” ujar Telisa.
Turunnya permintaan barang dan jasa, khususnya di sektor minuman itu ia katakan bisa membuat pelaku usaha melakukan efisiensi, termasuk dari sisi tenaga kerja melalui kebijakan pemutusan hubungan kerja (PHK). Maka, dia mengusulkan pemerintah seharusnya bisa memikirkan langkah alternatif untuk mengurangi konsumsi gula, melalui penerapan aturan batasan kandungan gula dalam produk makanan atau minuman.
“Sebetulnya ada juga cara lain supaya tidak harga terlalu naik dari dunia industri, yaitu mengurangi komponen gula dengan komponen impornya yang tinggi. Itu bisa dilakukan kalau industri tidak mau dikenakan cukai yang banyak, ya dia tidak akan terlalu banyak lagi (komponen gulanya),” ujar Telisa.
Pernyataan serupa disampaikan Wakil Ketua Bidang Kebijakan Publik Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Danang Girindrawardana. Menurutnya, penerapan cukai terhadap produk hanya akan membebani daya beli masyarakat dan biaya produksi industri, namun efek terhadap perubahan perilaku masyarakat dalam berkonsumsi tak akan signifikan bila dari sisi edukasi saja rendah.
“Alih-alih menambahkan cukai pemerintah lebih baik membuat pengaturan terkait dengan komposisi bahan berpemanis yang ada di dalam minuman-makanan misalnya dengan sekian persentase yang ditetapkan yang diperbolehkan pemerintah tanpa harus membuat pembebanan. Ini kan mengubah perilaku masyarakat juga,” ujar Danang.
Dengan alternatif kebijakan itu, ia menilai biaya ekonomi yang dibebankan ke masyarakat dan pelaku usaha bisa minim, dan lebih efektif mengurangi konsumsi gula masyarakat yang memang bisa menimbulkan penyakit diabetes atau penyakit yang dikenal sebagai ibunya dari berbagai penyakit.
“Nah di konteks makanan- minuman berpemanis saya kira mulai dipikirkan ketentuan-ketentuan untuk batasan-batasan seperti itu, jadi tidak beratkan masyarakat dan industri memiliki waktu cukup untuk menyesuaikan dengan ketentuan yang berlaku global karena kecenderungan dunia juga mengarah ke situ,” ungkap Danang.
“Jadi pendekatannya jangan terus menerus masalah pungutan, tapi pendekatan yang lebih alternatif dan bijak. Saya kira pemerintah mendatang harus lebih kreatif lagi,” tegasnya.
Sebagaimana diketahui, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyatakan keseriusannya untuk mengenakan cukai minuman berpemanis dalam kemasan atau MBDK pada tahun depan, sebagaimana pengenaan cukai rokok.
Ia mengatakan, pengenaan cukai MBDK ini penting untuk menekankan maraknya penyakit diabetes di Indonesia. Bahkan telah menjangkiti anak-anak. Diabetes dikenal sebagai ibu dari segala penyakit.
“Selama ini sudah dibahas dengan Komisi XI DPR, cukai rokok tetap jalan dan cukai minuman berpemanis, sesuai tujuan dari Kementerian Kesehatan untuk menjaga meluasnya atau makin tingginya dan prevalensi diabetes bahkan kepada tingkat anak-anak,” kata Sri Mulyani saat rapat kerja tentang RAPBN 2025 dengan Komisi XI DPR, Jakarta, Rabu (28/8/2024).
Mengutip catatan Kementerian Kesehatan, data dari International Diabetes Federation atau IDF menunjukan jumlah penderita diabetes di dunia pada 2021 mencapai 537 juta. Angka ini diprediksi akan terus meningkat mencapai 643 juta pada 2030 dan 783 juta pada 2045.
Menurut IDF, Indonesia menduduki peringkat kelima negara dengan jumlah diabetes terbanyak dengan 19,5 juta penderita pada 2021 dan diprediksi akan menjadi 28,6 juta pada 2045.
Persoalan ini menjadi perhatian khusus dari Kementerian Kesehatan karena mereka menganggap diabetes melitus merupakan ibu dari segala penyakit. Seperti ibu yang melahirkan banyak anak, diabetes