Hubungan antara Korea Utara (Korut) dan Rusia semakin mesra. Hal ini makin terlihat setelah Presiden Korut Kim Jong Un menandatangani dekrit untuk meratifikasi Perjanjian Kemitraan Strategis Komprehensif dengan Rusia awal pekan ini.
Perjanjian tersebut, yang pertama kali ditandatangani di Pyongyang pada tanggal 19 Juni selama kunjungan kenegaraan oleh Presiden Rusia Vladimir Putin, mewajibkan kedua negara untuk memberikan bantuan militer segera satu sama lain dengan menggunakan “segala cara” yang diperlukan jika salah satu pihak menghadapi “agresi”.
Ketika ia menyetujui perjanjian dengan Putin pada Juni, Kim memuji perjanjian tersebut sebagai langkah menuju peningkatan hubungan bilateral antara kedua negara, menggambarkan pakta militer tersebut sebagai sesuatu yang mirip dengan “aliansi” antara Rusia dan Korut.
Perjanjian ini juga terungkap setelah Korut mengirim pasukannya untuk berperang melawan Ukraina di wilayah Kursk. Saat itu Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky mengklaim setidaknya 11.000 tentara Korut berada di wilayah tersebut.
Sementara laporan The New York Times menyebut ada sekitar 50.000 tentara Rusia dan Pyongyang akan ambil bagian dalam serangan mengusir Kyiv dari daerah itu. CNN pun menyebut Korut sudah ambil bagian dalam operasi tempur langsung, tak hanya di Kursk, tapi juga di wilayah Belgorod.
Lalu bagaimana efeknya terhadap Korea Selatan (Korsel)?
Sheen Seong Ho, dekan sekaligus profesor di Sekolah Pascasarjana Studi Internasional Universitas Nasional Seoul (SNU), menyebut situasi ini sangat mengkhawatirkan. Dari sudut pandang Korsel, ini bukan pertanda baik karena Korut saat ini sedang menguatkan posisinya.
“Hubungan (Korut) dengan Rusia akan menciptakan dinamika baru di Semenanjung Korea, dan tentu terhadap invasi Rusia ke Ukraina,” kata Sheen dalam diskusi bertajuk ‘Membayangkan Kembali Peran Indonesia: Menetapkan Jalan Baru untuk Keterlibatan Antar-Korea dan Stabilitas Regional’ yang digelar oleh FPCI dan Korea Foundation di Jakarta Pusat, dikutip Jumat (15/11/2024).
Sheen menjelaskan di waktu yang sama, hubungan Korea Selatan dengan Rusia tidak begitu baik, begitu juga hubungan kedua Korea.
“Situasi itu menciptakan semacam, dengan cara tertentu, motivasi insentif yang baik bagi Rusia dan Korea Utara untuk bekerja sama melawan hubungan dengan Korea Selatan. Itu bukan perkembangan yang baik dari sudut pandang Korea Selatan,” katanya.
Sementara Korsel sendiri telah bergabung dengan Amerika Serikat (AS) untuk membantu Ukraina lewat dukungan sanksi dan bantuan kemanusiaan. Meski begitu, Seoul masih menghindari pasokan senjata langsung ke Kyiv sejalan dengan kebijakannya untuk tidak memasok senjata ke negara yang secara aktif terlibat dalam konflik.
“Jika (Presiden Korsel) Yoon Suk Yeol mengambil langkah dengan mengirim semacam senjata militer (ke Ukraina) sebagai tanggapan (hubungan Korut-Rusia), hal ini dapat kembali menciptakan ketegangan baru antara Rusia dan Korea Selatan,” ungkapnya.
Meski begitu, Sheen menyebut tidak ada langkah konkret atau tanda bahwa Yoon benar-benar akan mengirim sistem persenjataan militer semacam itu ke Ukraina.
“Ada tentangan beberapa orang dari oposisi, dari partai oposisi, dan juga masyarakat tentang kemungkinan (pengiriman senjata ke Ukraina) itu. Jadi, saya pikir kita perlu menunggu dan melihat apa yang akan benar-benar terjadi,” tambahnya.
Sebagai informasi, Kim dan Putin pertama kali bertemu di Vladivostok, Rusia pada April 2019. Pertemuan perdana keduanya digelar secara empat mata dan dilaporkan membahas banyak hal, salah satunya penanganan di Semenjung Korea hingga hubungan bilateral dan oenguatan ekonomi antara kedua negara.
Beberapa tahun kemudian, giliran Putin yang menyambangi Kim di Pyongyang pada 18 Juni 2024. Ini merupakan kunjungan pertama Putin di Korut dalam 24 tahun terakhir.
Dalam pertemuan tersebut, keduanya menyepakati untuk mengembangkan hubungan Korut-Rusia, yang telah menjadi sebuah benteng strategis untuk menjaga keadilan, perdamaian, serta keamanan internasional dan mesin untuk mempercepat pembangunan dunia multi-kutub baru.