Apa jadinya pahlawan kemerdekaan, yang mengobarkan dirinya untuk mengusir penjajah, tapi di masa depan menjadi perampok dan buronan? Kisah ini bukan fiksi semata tapi benar terjadi dan melibatkan eks-veteran bernama Kusni Kasdut.
Dari semula pahlawan dan pejuang kemerdekaan, Kasdut beralih jadi penjahat legendaris di Indonesia. Bagaimana ceritanya?
Pejuang Kemerdekaan
Setelah kemerdekaan, Kusni Kasdut menjadi pejuang yang mengusir Belanda. Dia bertugas di Jawa Timur dan tergabung dengan Brigade Teratai yang beranggotakan TNI, perampok, dan berbagai kelompok kriminal lain.
Selama berjuang, Kasdut ditugaskan mencari pendanaan. Dia kerap mencuri emas dan berlian milik orang kaya untuk dipakai keperluan perang. Pernah juga dia mencuri meriam milik Belanda untuk dipakai sebagai persenjataan Brigade Teratai.
Dalam proses tersebut, dia juga kerap tertangkap basah Belanda, sehingga penyiksaan dan pemenjaraan jadi “makanan” sehari-harinya. Namun, semua berubah ketika perang selesai.
Saat situasi normal, Kasdut tentu tidak punya pekerjaan. Tak seperti pejuang lain, dia tak bisa tergabung dalam tentara. Setidaknya ada dua versi terkait kegagalannya bergabung dengan TNI.
Pertama, dikutip dari paparan riset Para Jagoan (2011), Kasdut merasa pemerintah tak berjasa kepada para veteran seperti dirinya. Dia merasa sakit hati dan menolak masuk tentara.
Kedua, dia tak memenuhi persyaratan. Kasdut gagal seleksi administrasi dan kesehatan. Dia punya bekas luka tembak di kaki. Lalu, dia juga tak berasal dari kesatuan resmi TNI saat berjuang. Diketahui, dia bergerak sendirian tanpa arahan TNI, sehingga tak bisa masuk militer.
Apapun versinya, Kasdut gagal masuk TNI sekalipun dia sudah berjuang. Dia merasa kecewa dan sakit hati teramat. Pada saat bersamaan, kondisinya juga makin terhimpit. Dia sama sekali tak punya uang. Melamar pekerjaan pun tak bisa sebab dia tak punya keahlian, selain bela diri.
Pada titik ini, seorang teman mengajaknya menjadi penjahat. Dia setuju. Maka terjadilah aksi kriminal pertamanya, yakni pemerasan. Dia pura-pura menjadi penculik dan memeras keluarga korban. Aksi ini membuatnya punya Rp600 ribu. Dari sini dia merasa ketagihan dan menjalani pekerjaan sebagai perampok.�
Rampok Emas-Berlian
Akibat dulu sering merampok emas dan berlian, dia kemudian jadi spesialis perampokan objek tersebut. Kasdut melakukan perampokan pertama pada 11 Agustus 1953.
Kala itu, Kasdut merampok rumah orang kaya di Jakarta bernama Ali Badjened. Dia sukses membawa harta Ali dan juga membunuhnya. Kabar perampokan disertai pembunuhan seketika viral dan buat geger. Dia langsung menjadi sorotan dan buronan kepolisian. Sayangnya, Kasdut licin bak belut. Dia sulit sekali ditangkap.
Meski begitu, hasil rampokan Kasdut tak dimakan sendiri. Dia sering membagi-bagikan hasil rampokan ke kaum miskin atas dasar iba.
Kasdut berulangkali melakukan perampokan, tapi yang paling fenomenal terjadi pada 31 Mei 1961. Kala itu dia merampok Museum Nasional Jakarta dengan menyamar jadi polisi bersenjata.
Dia memperdaya petugas dan berhasil membawa kabur 11 pertama dan batangan emas koleksi museum. Total, mencapai Rp2,5 miliar. Nominal sangat besar di masanya. Namun, perampokan yang menyasar museum terbesar di Indonesia itu malah menjadi malapetaka bagi Kasdut.
Malapetaka terjadi saat dia menjual barang rampokan. Ketika menjual emas dan pertama, pihak kepolisian menyamar jadi pembelinya. Maka, tertangkaplah Kasdut.
Pada saat penangkapan, dia sempat melarikan diri, tetapi berhasil dilumpuhkan oleh aparat kepolisian. Setelah dipenjara dan diselidiki, hasil persidangan menyatakan Kusni Kasdut harus divonis hukuman mati.
Selama proses menunggu kematian, Kasdut hidup dari penjara ke penjara. Dia pernah melarikan diri, tetapi berhasil diringkus kepolisian. Dia bertobat dan bertekad menjadi Katolik yang taat.
Setelah menyesal, dia sempat mengajukan grasi ke Presiden Soeharto. Besar harapan, presiden memberi ampunan. Namun, permintaan itu ditolak dan keputusan hukuman mati harus dilaksanakan.
Pada sisi lain, tindakan Kasdut menuai pro dan kontra. Berbagai ahli menyoroti tindakannya membela kemerdekaan pada masa lampau. Namun, ada pula yang memandang dia harus dihukum mati tak peduli seberapa besar jasanya ketika jadi pejuang.
Akan tetapi, sejarah kemudian mencatat dia tetap ditembak mati pada 16 Februari 1980.